2/19/2005

Efwan

Hakikatnya sebuah pertandingan balap mobil adalah sebuah arena 'para' mobil saling mendahului. Untuk orang awan seperti saya, itu berarti setiap mobil akan berusaha mendahului mobil di depannya. Sehingga, harapan saya, pemandangan yang akan disaksikan adalah mobil satu akan susul-menyusul dengan lainnya. Ah.. memang awam betul.. tapi bukankah karena itu kita menonton balap mobil. Menyalurkan insting liar kita.

Tapi beberapa musim belakangan ini, ko kayanya kurang seru ya? Layaknya 'arak-arakan' mobil bertenaga super. Sudah empat kali Schumy merajai podium kejuaraan. Dan si kuda jingkrak 5 kali juara konstruksi (eh bener kan?). Bosen.

Tapi musim ini patut ditunggu. Saat ini, faktor usia mungkin akan mempengaruhi performa Schumy. Walau tidak bisa dilupakan, 'tua-tua keladi, makin tua makin menjadi'. Red Bull sesumbar akan memberikan kejutan dengan David Coulthard di tangan. Juga ada pembalap-pembalap muda seperti Montoya dan Raikkonen. Tampaknya musim ini layak di tunggu.

DREAM A LITTLE DREAM OF ME

Stars shining bright above you
Night breezes seem to whisper "I love you"
Birds singin' in the sycamore tree
Dream a little dream of me

Say nighty-night and kiss me
Just hold me tight and tell me you'll miss me
While I'm alone and blue as can be
Dream a little dream of me

Stars fading but I linger on dear
Still craving your kiss
I'm longing to linger till dawn dear
Just saying this Sweet dreams till sunbeams find you

Sweet dreams that leave all worries behind you But in your dreams whatever they be
Dream a little dream of me

------ piano ------

Stars fading but I linger on dear
Still craving your kiss I'm longing to linger till dawn dear
Just saying this Sweet dreams till sunbeams find you
Sweet dreams that leave all worries far behind you
But in your dreams whatever they be
Dream a little dream of me
Dan kau bertanya

Jika hidup merentang kasih
Dan persahabatan adalah talian rasa
Dimana kita tempatkan cinta?

Rasa, rindu, bahagia, bunggah, keceriaan dan kehampaan yang menyesakkan,
Dimana pula labuhannya?

Hei kawan,
Kita yang tau jawabnya
Kita pula yang harus mencari
Takaran untuk kita sendiri
Banyak cinta yang kau tuang
Besarnya kasih yang kutanam

Hari akan berganti
Dan ramuan kan kita temukan

Dan selama waktu abu-abu itu

Maafkan jika ku tak ingin memandang
Bulatan hitam yang merobek raga ini
Serasa ku terhisap dalam kubangan rasa
Dan makin tenggelam dalam kefanaan diri
Karna,
Selama itu, siapa yang akan menjaga kita
Kalau bukan kau dan aku
Yaa….

Ah kawan.. sahabat yang ku sayang…


Tadi pagi aku naik kereta ke Manggarai. Sampai di depan pintu keluar, Aku lihat penumpang di depan ku memberi karcisnya, Karcis berwarna merah. Pasti tujuan Jakarta Kota. Dalam hati aku bertanya ko warnanya merah sih? Ooo... mungkin dia turun sebelum tujuan sebenarnya. Dan dengan pd, aku beri karcisku. Sang petugas diam saja. Memandang karcisku yang kuning itu, tujuan Pasar Minggu. Dan dengan santainya aku melegang. Sampai di pelataran aku baru sadar, Astagfirullah!!

2/18/2005

Nyatanya aku mencintai
Angin sepoi-sepoi yang datang kabur hilang menghampiri...
Aku
buku
yang telentang
terbuka bukan menantang
setiap kata kau setubuhi
kalimat kau baui
perawan telanjang
Suatu ketika ada yang bertanya, mungkin ngga sih seorang cewek sama cowok sahabatan? murni cuma sahabat?

mmm.. pertanyaan yang menarik.

Sebelum menjawab, saya bertanya pada beberapa orang teman. Yang satu bilang kalau itu mungkin aja, seperti aku dan kamu.

Lainnya bilang ngga’ kayanya. Pria sama wanita selalu diciptakan beda muatan. Yang satu negatif yang lainnya positif. Pertemuan diantara keduanya selalu menghasilkan gaya tarik menarik.

Pendapat ekstrem bilang, omong kosong tuh kalau ada yang bilang “kita berdua sahabat aja ko’” tapi berkasih-kasihan kalau salah satu dari mereka punya masalah atau yang lain bermanja-manja dengan yang lain.

Kalau menurutku sih. Namanya juga manusia. Diberi karunia yang namanya rasa. Ditanam dalam rongga dadanya, hati (atau jantung?-heart) untuk merasa. Mengalami pengalaman emosi yang namanya mencinta. Diberi pula otak untuk memaknai apa yang kita lewati. Jadi… kita semua punya potensi untuk mencintai siapa saja.

Sebagian besar orang akan setuju jika persahabatan adalah lebih dari sekedar teman. Seorang teman yang lebih spesial, punya arti khusus. Maka pengalaman emosi yang kita bagi dengan sahabat kita itu akan lebih banyak takaranya dari pada hanya seorang teman. Wong spesial ko’.

Berdasarkan penelitian kedekatan adalah salah satu faktor yang memicu timbulnya asmara. Sehingga, seseorang seperti sahabat yang notabene dekat baik secara emosional dan mungkin secara fisik, selalu akan berpotensi untuk mencintai sahabatnya yang lain. Jadi akan selalu ada kemungkinan untuk timbulnya percikan-percikan emosi lain yang namanya cinta.

Dan besarnya kemungkinan munculnya percikan-percikan itu, tergantung pada banyak faktor. Sayang sekali saya belum mencari data-data ilmiah tentang faktor-faktor tersebut. Jangan-jangan belum ada yang meneliti lagi. (Wuihhh topik menarik tuh buat yang mau skripsi). Berdasarkan common sense, faktor-faktor itu bisa jadi adalah definisi dari persahabatan itu sendiri. Pemaknaan yang subyektif dari arti sebuah persahabatan bagi orang-orang yang menjalani. Tujuan dari persahabatan, nilai-nilai yang di anut keduanya, personal karateristik, harapan, pengalaman hidup. Termasuk juga dinamika dari sebuah persahabatan.

Kita memang sedang membicarakan sahabat, tapi bukan berarti dalam sebuah pertemanan percikan tidak mungkin timbul.

Lalu apakah itu sehat?

Rasa itu karunia. Jadi kenapa mesti di tolak. Di jalanin aja sambil mencari takaran yang pas untuk berdua. Kalau kemudian yang diambil salah. Yaa… sesempurna apa sih kita.? Sedang kita punya potensi untuk belajar, memaknai apa yang kita lewati. Pekerjaan berat menjadi manusia. Dan selalu bertanya, bertanya, bertanya dalam diri.

Jangan-jangan ketika kita bertanya mungkin ngga sih cewek sama cowok sahabatan? Ada benih-benih cinta. Ups!

Menunggu Bal-balan Non Class...

duh basi banget nih.... krik..krik... laper... browsing internet di M Web (eks) yang dari dulu kagak pernah bener... masa hang mulu! mana g ada yang bisa diajak ceting...

kapan sih tuh pertandingan di mulai. mana ujan begini lagi... hiks.. nyesel gw janji sama lo Bang. hehehe ngga ding... maap-maap... sebel ya lo... lo suka bikin gw sebel seeh...

ya..ya.. lo sering bikin gw sebel. sebel banget. setiap abis ngobrol sama lo, bawaannya emosi mulu dah.

kadang gw mikir yang berbeda dari kita adalah...

yang ingin gw capai dalam suatu perdebatan adalah kondisi stabil, sedang lo, selalu ingin berkonfrontasi terus menerus untuk mencapai kondisi sebaliknya. ibaratnya kalau ada sesuatu yang kacau, yang ingin gw capai adalah kondisi yang menuju kestabilan. ya..ya.. gw juga sadar kalo tidak mungkin kita mencapai kondisi yang stabil itu. yang bisa kita usahakan adalah menuju ke kestabilan itu. idealnya adalah kestabilan.

tapi kalo lo sebaliknya. yang ngga tahan kalo lihat dunia adem ayem. harus ada konflik. kalo ngga ada di ciptakan. karena menciptakan konflik adalah ladang 'kita' untuk belajar.

lo tau ngga sih? kalo lo tuh sering kali merusak konstruk gw tentang sesuatu. tentang manusia, tentang hakikat manusia, tentang hidup, nilai-nilai dan bahkan tentang hal-hal kecil. dan terus lo tiba-tiba bilang sebenernya gw seide, sealiran dan se- se- yang lain yang intinya kita sama aja. tapi lo tuh dah menghancurkan. mengobrak-abrik. ngga semua hal itu perlu di obrak-abrik dulu untuk belajar dari sesuatu itu. susah tau membangun kembali sesuatu yang hancur. perlu mikir lagi. belum lagi mencari puing ini ada dimana, apa pecahan ini cocok dengan yang itu. susah tau...

aargghhhhhhhh!!!

dan itu sering bikin gw sebel! emosi! dan setiap abis ngomong sama lo selalu begitu. sebel mulu bawaannya. sebel. kayanya dulu gw ngga kaya gini. nyebelin.

dan gw udah tau lo bosen gw ngomong kaya gini. makanya gw ngga mau ngomong ma lo. jadi gw tumplekin aja di sini. nanti kalo lo mau sebel sama gw ya udah. nyebelin. nyebelin. Nyebeliiiiiiiin! tuh kata jadi kata yang paling sering gw pake gara-gara lo tauk! nyebelin... nyebelin! nyebelin...! nyebel-nyebelin. menyebalkan.

fiuhhhhhh...... lega.....

sori ye bang... maap lahir batin....

Arus Balik

Dan tunailah Epos 760 halaman itu.....

....
“Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selama Peranggi menguasai jalan rempah-rempah, merekalah yang menguasai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang gelap,” ia teringat pada kata-kata lamanya.

Senapati mengangkat telunjuk memberi peringatan: “Makin kuat mereka menguasai jalan rempah-rempah, makin gelap pojokkan kita. Apabila mereka tidak dihalau dari tempat-tempat mereka berkuasa sekarang ini, bahkan dibiarkan semakin kuat juga, nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan – ambruk entah sampai berapa keturunan.”

“Senapatiku!” Banteng Wareng angkat bicara setelah beberapa saat Senapai berdiam diri sambil mengunyah sirih. “Bagaimana menghalau mereka?”

“Tunggu,” tengah Wiranggaleng, “biar aku ceritai kalian. Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerjaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusia, amal dan perbuatannya, cita-cita – semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makain lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak lagi bergerak ke utara, sebalikya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin sekarang lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.”

“Tidak mungkin, Senapatiku!” bantah Kala Cuwil.

“Tidak mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai, mereka takkan meneggang kapal kita, akan menghancurkan sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.

“Aku telah ceritakan pada kalian jalannya arus balik dari utara ke selatan. Dalam hidup kita, ada seseorang yang bukan hanya menyedari hal ini, bahkan membendung, bahkan melawan. Orang itu adalah Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah beliau sepanjang jaman. Beliau adalah perpaduan antara brahmana dan satria, seorang aulia yang akan di hormati sampai akhir jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya berbentuk kupu tarung.

“Mengapa kupu-tarung? Dua ekor kupu bertarung adalah lambang dua kekuatan, dua arus yang sama-sama lebih sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan, memperebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari kehidupan. Kedua0duanya sam-sama indah di hadapan sang surya, sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri, sama lemah terhadap kisaran angin, sama berasal dari ulat yang hina-dina.

“Sebenarnya kupu yang satu ini, kita ini, sama sekali tak perlu kalah karena lawannya juga tidak kuat. Kalian telah dapat halau Peranggi dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih banyak baru menang atas ketakutan terhadap mereka, daripada menang atas Peranggi itu sendiri. Kita belum mengalahkannya sama sekali dari jalan laut.

“Jangan sela aku, biar dapat kuteruskan dengan tenang.
“ Kalau kupu yang satu itu, arus selatan, kalah, bukanlah karena kupu Peranggi, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah karena kupu yang satu itu dungu, tak tahu tentang diri dan persoalannya. Di hindari Peranggi, arus utara itu, dengan berbagai dalih dan kegiatan. Dan bila kegiatan ini justru seperti yang dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara akan tenggelam. Surya akan segan memberkahi sinarnya yang menghidupi.”

“Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap Demak?” Banteng Wareng bertanya.
“Itulah teka-teki buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati,” jawab Wiranggaleng sedih. “kalian hadapi Demak, kalian menjdai lemah di hadapan Peranggi, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan jadi lemah juga di hadapan Peranggi.”
“Memang, persoalannya tak lain dari menghadapi Peranggi.”
“Memang persoalannya tak lain dari menghadapi Peranggi,” Banteng Wareng membetulkan pertanyaannya.
“Bagaimana harus menghadapai Peranggi, Senapati?” sekarang Kala Cuwil bertanya.

“Majapahit telah memberikan jawaban pada kalian: kesatuan Nusantara. Singosari telah memberikan jawaban: kesatuan Nusantara. Bukankah Singosari telah memberikan jawaban terhadap ancaman kaisar utara dulu: kesatuan Nusantara! Dan dikirimkan Raden Wijaya untuk usaha penyatuan itu? Memang pernah dulu ada seorang Gajah Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Baginda Kretanegara dari Singosaari dan Raden Wijaya dari Majapahit....”

“Engkaulah Gajah Mada!” Kala Cuwil berseru.
“Senapatiku, kaulah Gajah Mada!” Braja memperkuat.
“Kami semua sependapat!” Rangkum menambahi.
“Tidak bisa lain,” bisik Banteng Wareng seperti doa.
Sang Senapati menunduk. Orang melihat gelombang dukacita menyaputi wajahnya, dan semua menjadi terdiam. Semua menunduk seperti kembali mengulangi upacara syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar.

“Gajah Mada dimunculkan tidak di jaman kita. Kalian wajib mengetahui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan yang kuat sekarang adalah Demak, mempunyai balatentara dan armada yang hebat, dalam bilangan hari bisa menaklukkan bandar-bandar, dia pun punya cita-cita, hanya untuk tidak berhadapan dengan Peranggi sendiri. Tanpa raja yang bijaksana dan kuat tidak mungkin lahir seorang Gajah Mada.”

“Setelah Trenggono melancarkan gerakannya yang dungu,tak seorang pun Raja di Nusantara menaruh kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa dibina – karena jaman kita ini memerlukan kekuatan gabungan sebagaimana dicita-citakan Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah nama beliau sepanjang jaman.”
“Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada Jepara-Demak? Beberapa kerajaan di Jawa seberang telah bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan Nusantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung kekuatan. Nasib Jawa dan Nusantara telah ditentukan.”

“Kaulah Gajah Mada!” ulang Kala Cuwil.

“Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernama Galeng – tahu takkan mampu membendung perkembangan kemerosotan ini. Pengalaman Malaka yang terakhir adalah bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup bagaimana satu balatentara telah rusak dan merosot karena kehilangan pegangan.”

Ia mengangkat kepala dan memandang Kala Cuwil: “Kau, Kala Cuwil, kau yang tertua di antara semua kepala pasukan, lepaskan destarmu dan gelar di hadapan kita.”
Kala Cuwil terheran-heran dan memandangi Senapati dengan mata bertanya-tanya. Tidak bukan untuk mengurangi kehormatanmu.”

Dengan ragu Sang Patih melepas Destar, menggelarnya di hadapan Wiranggaleng dan merapikan ujung-ujungnya yang keriput.

“Hanya melepas destar kaupun ragu-ragu, Sang Wirabumi,” tegur Wiranggaleng. “Lebih banyak lagi yang bakal kupinta darimu.”

“Senapatiku.”

“Nah, dengarkan baik-baik sekarang, jangan sampai sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian, karena aku takkan mengulangi lagi.”
“Senapatiku!” pekik Rangkum.

“Dengarkan!” perintah Senapati. “Telah aku baktikan masa mudaku dan tenaga dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari uatara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dari uatara, bukan saja jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya. Agjah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri.

“Jaman Gajah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin kecil dan anak-anak desa jadi lebih kecil lagi.

“Aku menyedari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesedaran ini. Jaman bukan haya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua kuserahkan pada kalian.”

“Senapatiku!” Banteng Wareng menyela.
“Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar itu. Aku tak ada kemampuan memepersatukan raja-raja dari para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur dan urus semua tanpa aku. Jangan berduka cita.”
.....

Pramoedya, Arus Balik (1995)

2/17/2005

Satu Pagi di Kampung Tempat Tinggalku...

Hari ini cerah. Matahari bersinar menghangatkan. Cahayanya masuk ke sela-sela pintu, membentuk koloid dengan debu. Langit biru dan awan bearak putih. Semburat awan tipis kadang terlihat di sana sini. Layaknya sibakan gaun para peri. Angin sepoi-sepoi bertiup dari utara. Membelai, daun-daun riang. Burung-burung berkicau.

Anak kecil lari-lari kecil di pemantang. Kakinya mungil namun lincah. Di punggungnya tas-tas bergelayutan. Bajunya kusam, lecek, berantakan tapi coba lihat wajahnya, ceria sekali bukan. "Pagi ini milikku!” mereka berseru.

Kali kecil kuning kecoklatan meluap hingga ke tepi. Seorang bujang, tukang ojek langganan menyapa. Semalam, Bogor hujan lebat katanya. Arus deras menghanyutkan segala sampah yang mengambang. Kampungku, tempat tinggalku. Kata orang kita ini pengirim banjir ke ibukota.

Dan sekarang aku di sini. Bangunan kecil tak sampai 4 meter persegi. Kain-kain perca menumpuk di pojokkan. Benang-benang tertata rapi. Baju-baju jadi menggantung di kayu bekas gagang sapu. Penunggu bangunan itu bekerja lambat-lambat. Dipotongnya kain yang saat aku datang sedang dibentuk pola. Aku punya janji lain pagi ini. Pukul 9 di perpustakaan. Katanya ada yang mau presentasi sebuah proyek. Duh, pak mengapa bawaanku belum juga kau sentuh?

Ah... baru pukul 8 pagi dan aku masih punya banyak waktu. Bukankah Citayam-UI hanya 15 menit dengan kereta? Dan kereta akan datang pukul setengah sembilan. Bunyi gunting dan kemudian mesin jahit membuatku lega. Pak penjahit memulai tugasnya.

Sementara menunggu baju ibuku itu. Aku layangkan pandang ke depan. Pohon rambutan bagai berdandan. Perona marun dipoles di sana sini. Daunnya lebat dan melihat begitu banyak perona terpoles, pasti lebat juga buahnya. Di latarnya langit biru menemani. Angin dari utara itu kadang berhembus pelahan. Semilir-semilir menebar bau kambing.

Ada kandang kambing berteduh di situ, tentu dengan segala isinya: kambing yang tak kelihatan berapa jumlahnya, pakan rumput dan tumpukan kotoran. Ayam berkotek-kotek menggagetkan. Di dekat situ, tempat pencucian mobil masih sepi. Lain halnya dengan toko pompa air tepat di depan bangunan ini. Beberapa orang bapak ngobrol-ngrobrol sambil minum kopi. Asik betul bicaranya. santai dan riang. Seorang bapak yang tampaknya pemilik toko mulai menyapu. sambil terus berbincang. dan temannya yang seorang menyahuti. Sambil pula diseruputnya kopi tubruk buatan Warteg sebrang. Sedep banget Dahhh!! Begitu orang Bojong bilang. Semua kegiatan dalam gerakan lambat dan melenakan. Seperti hidupnya bukan di zaman waktu dan uang adalah kembar siam tak terpisahkan.

Ah kampung tempat tinggalku. Masih ndeso kata seorang teman. Sayup-sayup terdengar perbincangan bapak-bapak itu. Katanya, sekarang ini jalan di depan pasar selalu macet. Tidak seperti dulu-dulu. Ramai hanya pada hari pasar- Rabu. Sekarang banyak pendatang baru katanya. Sawah-sawah dijual. Perumahan-perumahan dibangun. Juragan-juragan tanah alih usaha. Angkot-angkot di beli.
Aku jadi ingat beberapa tahun lalu waktu baru pindah ke sini. Ada padang di belakang dan samping rumah. Sejauh mata memandang yang ada hanya hamparan tanah, ladang dan pohon dikejauhan. Di belakang rumah mengalir kali irigasi. Menjelang sore biasanya ada kebo mandi di situ. Byurrrr… pertama-tama takut juga. Pah, apa kebo itu tidak bakal masuk rumah. Dan dijawab dengan tawa. Sore hari capung-capung terbang kian kemari. Beberapa anak main bola dekat situ. Termasuk adikku. Kira-kira satu bulan menjelang bulan puasa, ladang yang biasanya ditanami jagung mulai di tanam benih timun suri. Di pertengahan bulan puasa, sebagian besar timun-timun itu merekah mengiurkan. Sedang sebagian lain sudah mulai dijual sejak awal bulan itu. Baik betul pemilik ladang itu. uang seperti hanya sekedarnya. Dan diberinya banyak timun suri. Mmm… segar betul…

Saat ini padang itu hanya tersisa selebar satu lapangan bola voli. Lainnya, rumah-rumah baru di bangun. Penghuni baru berdatangan. Sedih juga. Tak ada lagi tanah yang cukup lapang untuk melihat langit penuh bintang di kala malam. Melihat siriusku di antara yang lain. Tapi aku buru-buru ingat. aku pendatang juga. Rumah orangtuaku dulunya pasti ladang juga. rumah tetanggaku mungkin bekas pohon besar berdiri. Ah… ironi yang menyedihkan.

Aku jadi bertanya, apa iya masih se’ndeso’ sangka temanku itu? di banding tetangganya Depok, mungkin ya.

Pagi itu, angkot-angkot masih jarang lalu lalang. terdengar radio di stel. Bens Radio, Betawi punya gaye,,,. lagu dangdut didendangkan. suara mesin jahit Singer masih mengalun. serasa tepuk tangan tiada habis-habisnya bagi penyanyi yang medesah-desah itu.

Belum habis satu lagu diputar sang penyiar kembali menyapa. Masih dengan gaya khas betawi pinggiran. Intonasinya seperti sengaja ditekan. Bertempo cepat kemudian. Mengagetkan di lain waktu dan lambat-lambat di kala lain. Satu suara yang mampu menceriakan. Menambah hidup dan kecerahan pagi ini. Bunyi gunting beradu lempeng baja terdengar kali ini. Dan pakaian ibuku yang habis dikecilkan itu dilipatnya. Uang dibayar dimuka. Sambil kulihat jam, kaki ini berlari keluar...

Ah...satu pagi di kampung tempat tinggalku.
Aaarrrgghhhh...!!!!!

2/16/2005

What a Wonderful World

I see trees of green, red roses too
I see them bloom for me and you
And I say to myself
What wonderful world

I see skies of blue and clouds of white
Bright sunny days, dark sacred nights
And I think to myself
What a wonderful world

The colors of the rainbow are so prettyin the skies
Are also on the faces of people walking byI see friends shaking hands saying
How do you do?
They're really saying
I love you

I see babies cry, I watch them grow
They'll learn much more than I'll ever know
And I think to myself
What a wonderful world

Yes, I think to myself
What a wonderful world

And I say to myself
What a wonderful world

2/08/2005

aku takut

Aku takut cinta merasuk ke sum-sum tulang, memompa darah baru penuh semangat dan keceriaan
Aku takut miliki hari yang setiap cuaca begitu indah dan detik-detik penuh analisa dan keraguan
Aku takut...
Aku takut aku selalu merindu bau tubuh itu
Aku takut rindu yang kita bicarakan
Aku takut aku....
Aku takut hatiku tertambat erat. Tambatan tempat kutuang semua kasih, gundah dan resah. Tempat kutuang bunga bahagia pula.
Aku takut...
Aku takut aku... menjadi lemah
Lemah karena terbiasa bermanja-manja, lemah karena terbiasa berkeluh kesah, lemah karena selalu ingin dibantu
Kebersamaan membuatku selalu rindu. Rindu untuk menuang penat dan lelah. Bersama aku lupa berjalan dengan kaki sendiri. Lupa mengatur pikir dan rasa untuk diriku sendiri.
Dan tiada kata cinta untuk bayarannya.