10/27/2005

Di sini..

Disini... menunggu hari berlalu.. yang terbaik sudah digariskan. kenapa hati ini masih gundah juga. dalam ketidakpastian pada siapa kita berpegang. pada janji yang abadi pastinya. Ya Allah... Padamu diri ini berserah...

10/26/2005

Malam biru di bawah rembulan. Malam yang hangat dan cuma ada kita berdua. Magrib telah lewat. Pacarmu akan tiba kau bilang. Tapi kau juga masih ingin berlama-lama. Apa maumu? Aku tau inginku. Kamu. Bisakah kau putuskan sekarang. Bagaimana jika kita kabur saja. Aku bawa kamu ke padang tempat harimau masih mengaum. Tempat yang lebih beradab daripada rumah tanah yang dibagun kasihmu. Aku tau tak punya segala. Tapi aku punya telinga. Telinga. Kau tau itu dan pacarmu tak miliki. Kasih.. malam semakin kelam. Kita belum sembahyang. Putuskan sekarang. Apa maumu? Aku tahu yang kumau. Kamu. Apa maumu?
Pagi ini hujan kawan. Aku kira sejak semalam. Rintik-rintik. Kelabu. Anak-anak kecil pakai jas hujan warna-warni. Si buyung tak malu lagi pakai jas hujan merah jambu. Kamu sedang apa? Aku rindu. Kamu bilang kamu selalu suka hujan. Hujan saat berkah turun ke bumi. Romantis katamu. Lalu ada sekelebatan kenangan satu sore di jendela kamar. Hujan menetes dan hari terasa tenang. Kamu sedang apa?

Aku bilang aku tak suka hujan satu ketika. Rintik airnya selalu membawa dingin serta. Kau tau aku tak suka dingin. Dingin merampas kehangatanku. Beku. Aku tak suka itu kataku. Tapi kau selalu selalu suka hujan. Dan menertawakanku saat hari cerah berawan kapas. Hari yang panas. Kita selalu berbeda. Tak perlu lagi dibicarakan.

Kau ingat saat kau tanya aku untuk pertama kali. dan aku bisu. Kau mulai bicara dan aku diam saja. Aku pandangi bulir-bulir yang mengalir di jendela mobil. Kau terus bicara. Kau tau? Saat itu aku pikirkan kuliahku. Tapi aku ingat juga kata-katamu. Katanya kau suka hujan. Dan merasa sendu ketikanya. Kau sedang apa? Aku rindu.

Aku ingat hari itu hujan turun pula. Aku menyesal. Hari lain sejak kau bertanya padaku. Kita memang duduk terpisah. Tapi hatimu selalu ada disini. Sampai kucampakkan saat itu. saat hujan mulai turun di sore yang gerah. Mobil dinas tua berjalan perlahan di kemacetan. Dan kau bertanya padaku. Menitipkan jiwamu. Masa lalu merubahku kawan. Waktu menempaku jadi manusia baru. Dan aku bilang tidak. Cukup saja hingga disini. Aku tak pernah mencintai hujan. Dia kasihmu. Bukan untukku. Aku menyesal. Kamu dimana? Aku rindu.

Kamu dimana?

Pagi ini hujan kawan. Rintik. Sebulir-bulir air menetes dari pucuk daun mangga. Anak sekolah pakai plastik dikaki. Jalan sepi. Jatuhan air menari. Kamu di mana? Aku rindu.

***
Pada hujan kubertanya satu ketika, apa mereka melihatmu? Mereka bilang kau lebur bersama matari. Kala melahapmu sampai hilang dari bumi. Lalu angin berbisik padaku hujan bual saja. Mereka tak tau pula kau dimana. Ia bilang percayalah padanya. Jual diriku dan kita kan bertemu. Kini ini aku tak suci lagi, tapi tetap kutak tau dimana kamu Ahh... Kau dimana kawan? Aku lelah mencari. Adakah kudapat tebus sesal ini?

Pada malam aku bertanya satu ketika, pada siapa kau titipkan rindu? Kelam. Selalu tak ada jawaban. Tapi pada mereka aku tau nurani ada. Pada bintang aku berpesan. Kawan, hubungi aku. Aku rindu bau jiwamu....

Gelar Batik

Beberapa minggu lalu, di awal bulan puasa, ada gelar batik Nusantara di Balai Sidang Jakarta. Aku kesana. Indahnya. Begitu banyak motif batik dari seluruh nusantara. Indah. Betul-betul indah. Sebagian dari sutera yang lembut. Tapi ngga selembut harganya. Jutaan. Ada juga sih yang diobral 100ribu, tapi itu kain batik yang dulu suka dipakai ibuku untuk mengendong. Aku suka benget ada ditempat itu. walau cape dan lapar kayanya sbanding dengan yang aku dapat. Kekayaan nusantara. Dari dulu aku mau belajar mbatik. Buat orang yang g pernah bersentuhan dengan batik mungkin eksotis ya? Hehehe.. tapi aku mau belajar sebagai usaha kembali ke akar. Menjadi jawa. Walau batik bukan saja dari jawa. Lagi kalau bukan kita siapa lagi?

Malas

Penyakit orang Indonesia tampaknya memang pada kemalasannya. Malas berusaha. Lebih suka terima dana kompensasi BBM daripada melakukan inovasi baru (yang halal dan turut aturan) untuk menyiasati hidup.

Sudah beberapa kali aku lihat sebuah acara kuis dari Jepang di stasiun TV Lativi. Entah apa namanya. Dalam kuis itu, sebuah keluarga dikunjungi oleh pihak televisi. Setiap anggota keluarga boleh memilih apa saja impian mereka. Misalnya ayah mau peralatan golf, ibu ingin sepeda. Kakak ingin notebook dan si adik mau anjing. Biayanya kemudian dihitung dan akan diberikan jika sang ayah menyelesaikan suatu tantangan dengan gemilang. Tantangannya macam-macam. Satu episode aku lihat si ayah ditantang untuk menyalakan api dengan cara mengosok bambu kering di episode lain ayah diminta untuk mendirikan tumpukan 30 dadu yang kecil-kecil. Untuk menyelesaikan tantangannya Perserta diberi kesempatan satu minggu untuk berlatih.

Yang menarik adalah hampir setiap peserta berusaha menemukan inovasi-inovasi baru dalam menyelesaikan tugasnya. Eksperimen dilakukan. Setiap anggota keluarga bahu membahu menemukan cara termudah untuk menyelesaikan tantangan. Kalau perlu pakai metode ilmiah. Biasanya mereka telah berhasil melakukan tantangan sebelum mereka harus pentas. Pada umumnya yang menjadi batu sandungan saat tampil untuk merebut impian keluarga adalah masalah mental. Gugup, ragu dan masalah-masalah psikologis lainnya.

Ternyata ada juga tayangan serupa di RCTI, ‘Funtastik’. Dari berberapa episode yang aku lihat. Dari hari ke hari latihan, tidak ada (sejauh yang aku lihat) yang berusaha menemukan cara termudah untuk melakukan tantangan. Semua melakukan dengan cara yang sama seperti saat mereka diberi tugas itu untuk pertama kali. Kesalahan yang sama dilakukan berulangkali. Haa... geregetan. Hasilnya juga tentu ngga maksimal.

***
gw sadar, sebagai bagian dari bangsa ini gw juga termasuk orang yang malas. Malaaaaassss Banget. Untuk beberapa waktu gw malas banget nulis. Gw juga malas bangun pagi. Malas untuk lebih giat beribadah di bulan Ramadhan ini. Malas melakukan tugas-tugas. Semua serba ditunda.

Satu lagi, kalau sudah memulai pekerjaan, sulit banget buat gw untuk tekun. Fokus ke pekerjaan itu sampai selesai. Biasanya gw tinggaliin dulu, tidur-tiduran, makan, minum kopi, nonton tv, jalan-jalan, atau melakukan pekerjaan lain. Kenapa ya? Gw ngiri banget sama orang-orang yang bisa duduk tekun di depan komputer terus-terusan dari pagi sampai istrirahat terus duduk lagi hingga waktu pulang tiba. Ko bisa?

Bisa jadi itu memang personal karakteristik gw yang ngga bisa diem. Tapi Gw sadar juga ada faktor malasnya. Malas... apa ya obatnya?

Kadang gw jadi sebel sama diri sendiri, kalau gw ingin berbuat sesuatu buat bangsa ini, terus gw masih aja malas gimana coba? Waktu yang terbuang untuk menuruti kemalasan ini, rasanya lebih berguna kalau gw malakukan sesuatu yang berguna. Kalau gw ngga malas mungkin keadaan diri gw, orang-orang disekitar akan lebih baik ya? Malas apa obatnya?