4/03/2005

Dini, "Kutanya Kabarmu Kawan"

Minggu pagi ini, langit Depok cerah berawan. Aku menulis buatmu kawan, ditemani secangkir besar teh hangat dan alunan musik jazz dari radio.

Bagaimana kabarmu di Aceh sana? Seperti apa langitnya pagi ini? Kau bilang hari ini kau akan ke pantai. Sudah sampaikah kau di sana? Seperti apa pantai yang kau kunjungi itu? Putihkah pasirnya? Kuatkah hempasan ombaknya? Udara yang kuhirup pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya masih sama segarnya. Dan bagaimana dengan udara pantai yang kau hirup? Berbau lautkah? Asinkah terasa di mulut? Angin di pantai itu seperti apa belaiannya? Sanggupkah membuaimu hingga terlelap? Lalu, apakah angin itu membawa pesan dari tengah samudra sana? Bahwa hidup akan terus berlanjut. Mimpi akan tetap dikejar, dan cita-cita akan tetap digapai. Tak peduli sedahsyat apa pun bencana yang telah mengoyak Tanah Rencong.

Kemaren malam, sepulangnya dari menonton konser bilik musik, aku menengadahkan wajah memandang langit. Jauh di angkasa sana aku melihat bintang. Lebih terang dan lebih banyak dari malam-malam sebelumnya. Memang, dua hari terakhir, langit Depok cerah tak berawan. Cakrawalanya biru dan matahari bersinar terang benderang. Aku yakin, langit Aceh berbintang lebih terang dan lebih cemerlang di saat malam. Karena pastinya, langit sana masih bersih, udaranya tidak sekotor udara kota ini.

Dua belas hari lagi kau akan kembali ke kota ini. Kembali ke kehidupanmu yang lama. Kembali ke rutinitas lama dengan meninggalkan rutinitas baru yang sempat kau jalani selama satu bulan. Kau bilang kau akan sedih meninggalkan anak-anak yang kau temui di sana. Anak-anak tampan dengan lirikan matanya yang tajam. Anak-anak yang sudah kau akrabi sekaligus kau cemari dengan logat Bojongmu.

Sempatkah kau menabur sayang? Menanam cinta dan menambatkan hatimu pada anak-anak itu? Sayangnya, sebelum sempat menuai hasil, kau mesti meninggalkan mereka. Tapi, bukankah hidup memang seperti itu kawan? Orang-orang datang dan pergi. Singgah dan berlalu dalam hidup kita ini. Kita pun begitu. Mampir sesaat di beranda hidup orang. Terkadang kita masuk lebih dalam. Namun pada akhirnya, kita juga akan meninggalkan hidup mereka. Hanya saja, wajar kita berharap, kehadiran kita yang sekejap mampu membawa tawa dalam hidup mereka. Mampu melipur lara hati mereka. Mampu menjadi matahari yang menerangi atau menjadi hujan yang membasahi kembali setelah hidup mereka sempat dilanda kemarau. Seperti itukah kehadiranmu kawan dalam hidup anak-anak itu? Menggoreskan warna dalam lukisan hari mereka. Mendentingkan tawa dan mengalunkan bahagia. Meskipun sekejap, hadirmu memberi arti. Semoga kawan.

Dan di kota ini, kutunggu hadirmu. Kutunggu ceritamu. Oh ya, jangan lupakan oleh-oleh untukku dari ujung pulau Sumatera itu. Mungkin kau bisa bawakan aku kerang dari pantai yang kau kunjungi pagi ini. Dan sekali lagi kutanya apa kabar hatimu pagi ini?.