2/18/2005

Arus Balik

Dan tunailah Epos 760 halaman itu.....

....
“Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selama Peranggi menguasai jalan rempah-rempah, merekalah yang menguasai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang gelap,” ia teringat pada kata-kata lamanya.

Senapati mengangkat telunjuk memberi peringatan: “Makin kuat mereka menguasai jalan rempah-rempah, makin gelap pojokkan kita. Apabila mereka tidak dihalau dari tempat-tempat mereka berkuasa sekarang ini, bahkan dibiarkan semakin kuat juga, nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan – ambruk entah sampai berapa keturunan.”

“Senapatiku!” Banteng Wareng angkat bicara setelah beberapa saat Senapai berdiam diri sambil mengunyah sirih. “Bagaimana menghalau mereka?”

“Tunggu,” tengah Wiranggaleng, “biar aku ceritai kalian. Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerjaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusia, amal dan perbuatannya, cita-cita – semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makain lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak lagi bergerak ke utara, sebalikya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin sekarang lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.”

“Tidak mungkin, Senapatiku!” bantah Kala Cuwil.

“Tidak mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai, mereka takkan meneggang kapal kita, akan menghancurkan sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.

“Aku telah ceritakan pada kalian jalannya arus balik dari utara ke selatan. Dalam hidup kita, ada seseorang yang bukan hanya menyedari hal ini, bahkan membendung, bahkan melawan. Orang itu adalah Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah beliau sepanjang jaman. Beliau adalah perpaduan antara brahmana dan satria, seorang aulia yang akan di hormati sampai akhir jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya berbentuk kupu tarung.

“Mengapa kupu-tarung? Dua ekor kupu bertarung adalah lambang dua kekuatan, dua arus yang sama-sama lebih sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan, memperebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari kehidupan. Kedua0duanya sam-sama indah di hadapan sang surya, sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri, sama lemah terhadap kisaran angin, sama berasal dari ulat yang hina-dina.

“Sebenarnya kupu yang satu ini, kita ini, sama sekali tak perlu kalah karena lawannya juga tidak kuat. Kalian telah dapat halau Peranggi dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih banyak baru menang atas ketakutan terhadap mereka, daripada menang atas Peranggi itu sendiri. Kita belum mengalahkannya sama sekali dari jalan laut.

“Jangan sela aku, biar dapat kuteruskan dengan tenang.
“ Kalau kupu yang satu itu, arus selatan, kalah, bukanlah karena kupu Peranggi, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah karena kupu yang satu itu dungu, tak tahu tentang diri dan persoalannya. Di hindari Peranggi, arus utara itu, dengan berbagai dalih dan kegiatan. Dan bila kegiatan ini justru seperti yang dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara akan tenggelam. Surya akan segan memberkahi sinarnya yang menghidupi.”

“Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap Demak?” Banteng Wareng bertanya.
“Itulah teka-teki buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati,” jawab Wiranggaleng sedih. “kalian hadapi Demak, kalian menjdai lemah di hadapan Peranggi, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan jadi lemah juga di hadapan Peranggi.”
“Memang, persoalannya tak lain dari menghadapi Peranggi.”
“Memang persoalannya tak lain dari menghadapi Peranggi,” Banteng Wareng membetulkan pertanyaannya.
“Bagaimana harus menghadapai Peranggi, Senapati?” sekarang Kala Cuwil bertanya.

“Majapahit telah memberikan jawaban pada kalian: kesatuan Nusantara. Singosari telah memberikan jawaban: kesatuan Nusantara. Bukankah Singosari telah memberikan jawaban terhadap ancaman kaisar utara dulu: kesatuan Nusantara! Dan dikirimkan Raden Wijaya untuk usaha penyatuan itu? Memang pernah dulu ada seorang Gajah Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Baginda Kretanegara dari Singosaari dan Raden Wijaya dari Majapahit....”

“Engkaulah Gajah Mada!” Kala Cuwil berseru.
“Senapatiku, kaulah Gajah Mada!” Braja memperkuat.
“Kami semua sependapat!” Rangkum menambahi.
“Tidak bisa lain,” bisik Banteng Wareng seperti doa.
Sang Senapati menunduk. Orang melihat gelombang dukacita menyaputi wajahnya, dan semua menjadi terdiam. Semua menunduk seperti kembali mengulangi upacara syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar.

“Gajah Mada dimunculkan tidak di jaman kita. Kalian wajib mengetahui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan yang kuat sekarang adalah Demak, mempunyai balatentara dan armada yang hebat, dalam bilangan hari bisa menaklukkan bandar-bandar, dia pun punya cita-cita, hanya untuk tidak berhadapan dengan Peranggi sendiri. Tanpa raja yang bijaksana dan kuat tidak mungkin lahir seorang Gajah Mada.”

“Setelah Trenggono melancarkan gerakannya yang dungu,tak seorang pun Raja di Nusantara menaruh kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa dibina – karena jaman kita ini memerlukan kekuatan gabungan sebagaimana dicita-citakan Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah nama beliau sepanjang jaman.”
“Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada Jepara-Demak? Beberapa kerajaan di Jawa seberang telah bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan Nusantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung kekuatan. Nasib Jawa dan Nusantara telah ditentukan.”

“Kaulah Gajah Mada!” ulang Kala Cuwil.

“Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernama Galeng – tahu takkan mampu membendung perkembangan kemerosotan ini. Pengalaman Malaka yang terakhir adalah bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup bagaimana satu balatentara telah rusak dan merosot karena kehilangan pegangan.”

Ia mengangkat kepala dan memandang Kala Cuwil: “Kau, Kala Cuwil, kau yang tertua di antara semua kepala pasukan, lepaskan destarmu dan gelar di hadapan kita.”
Kala Cuwil terheran-heran dan memandangi Senapati dengan mata bertanya-tanya. Tidak bukan untuk mengurangi kehormatanmu.”

Dengan ragu Sang Patih melepas Destar, menggelarnya di hadapan Wiranggaleng dan merapikan ujung-ujungnya yang keriput.

“Hanya melepas destar kaupun ragu-ragu, Sang Wirabumi,” tegur Wiranggaleng. “Lebih banyak lagi yang bakal kupinta darimu.”

“Senapatiku.”

“Nah, dengarkan baik-baik sekarang, jangan sampai sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian, karena aku takkan mengulangi lagi.”
“Senapatiku!” pekik Rangkum.

“Dengarkan!” perintah Senapati. “Telah aku baktikan masa mudaku dan tenaga dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari uatara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dari uatara, bukan saja jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya. Agjah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri.

“Jaman Gajah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin kecil dan anak-anak desa jadi lebih kecil lagi.

“Aku menyedari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesedaran ini. Jaman bukan haya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua kuserahkan pada kalian.”

“Senapatiku!” Banteng Wareng menyela.
“Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar itu. Aku tak ada kemampuan memepersatukan raja-raja dari para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur dan urus semua tanpa aku. Jangan berduka cita.”
.....

Pramoedya, Arus Balik (1995)