2/17/2005

Satu Pagi di Kampung Tempat Tinggalku...

Hari ini cerah. Matahari bersinar menghangatkan. Cahayanya masuk ke sela-sela pintu, membentuk koloid dengan debu. Langit biru dan awan bearak putih. Semburat awan tipis kadang terlihat di sana sini. Layaknya sibakan gaun para peri. Angin sepoi-sepoi bertiup dari utara. Membelai, daun-daun riang. Burung-burung berkicau.

Anak kecil lari-lari kecil di pemantang. Kakinya mungil namun lincah. Di punggungnya tas-tas bergelayutan. Bajunya kusam, lecek, berantakan tapi coba lihat wajahnya, ceria sekali bukan. "Pagi ini milikku!” mereka berseru.

Kali kecil kuning kecoklatan meluap hingga ke tepi. Seorang bujang, tukang ojek langganan menyapa. Semalam, Bogor hujan lebat katanya. Arus deras menghanyutkan segala sampah yang mengambang. Kampungku, tempat tinggalku. Kata orang kita ini pengirim banjir ke ibukota.

Dan sekarang aku di sini. Bangunan kecil tak sampai 4 meter persegi. Kain-kain perca menumpuk di pojokkan. Benang-benang tertata rapi. Baju-baju jadi menggantung di kayu bekas gagang sapu. Penunggu bangunan itu bekerja lambat-lambat. Dipotongnya kain yang saat aku datang sedang dibentuk pola. Aku punya janji lain pagi ini. Pukul 9 di perpustakaan. Katanya ada yang mau presentasi sebuah proyek. Duh, pak mengapa bawaanku belum juga kau sentuh?

Ah... baru pukul 8 pagi dan aku masih punya banyak waktu. Bukankah Citayam-UI hanya 15 menit dengan kereta? Dan kereta akan datang pukul setengah sembilan. Bunyi gunting dan kemudian mesin jahit membuatku lega. Pak penjahit memulai tugasnya.

Sementara menunggu baju ibuku itu. Aku layangkan pandang ke depan. Pohon rambutan bagai berdandan. Perona marun dipoles di sana sini. Daunnya lebat dan melihat begitu banyak perona terpoles, pasti lebat juga buahnya. Di latarnya langit biru menemani. Angin dari utara itu kadang berhembus pelahan. Semilir-semilir menebar bau kambing.

Ada kandang kambing berteduh di situ, tentu dengan segala isinya: kambing yang tak kelihatan berapa jumlahnya, pakan rumput dan tumpukan kotoran. Ayam berkotek-kotek menggagetkan. Di dekat situ, tempat pencucian mobil masih sepi. Lain halnya dengan toko pompa air tepat di depan bangunan ini. Beberapa orang bapak ngobrol-ngrobrol sambil minum kopi. Asik betul bicaranya. santai dan riang. Seorang bapak yang tampaknya pemilik toko mulai menyapu. sambil terus berbincang. dan temannya yang seorang menyahuti. Sambil pula diseruputnya kopi tubruk buatan Warteg sebrang. Sedep banget Dahhh!! Begitu orang Bojong bilang. Semua kegiatan dalam gerakan lambat dan melenakan. Seperti hidupnya bukan di zaman waktu dan uang adalah kembar siam tak terpisahkan.

Ah kampung tempat tinggalku. Masih ndeso kata seorang teman. Sayup-sayup terdengar perbincangan bapak-bapak itu. Katanya, sekarang ini jalan di depan pasar selalu macet. Tidak seperti dulu-dulu. Ramai hanya pada hari pasar- Rabu. Sekarang banyak pendatang baru katanya. Sawah-sawah dijual. Perumahan-perumahan dibangun. Juragan-juragan tanah alih usaha. Angkot-angkot di beli.
Aku jadi ingat beberapa tahun lalu waktu baru pindah ke sini. Ada padang di belakang dan samping rumah. Sejauh mata memandang yang ada hanya hamparan tanah, ladang dan pohon dikejauhan. Di belakang rumah mengalir kali irigasi. Menjelang sore biasanya ada kebo mandi di situ. Byurrrr… pertama-tama takut juga. Pah, apa kebo itu tidak bakal masuk rumah. Dan dijawab dengan tawa. Sore hari capung-capung terbang kian kemari. Beberapa anak main bola dekat situ. Termasuk adikku. Kira-kira satu bulan menjelang bulan puasa, ladang yang biasanya ditanami jagung mulai di tanam benih timun suri. Di pertengahan bulan puasa, sebagian besar timun-timun itu merekah mengiurkan. Sedang sebagian lain sudah mulai dijual sejak awal bulan itu. Baik betul pemilik ladang itu. uang seperti hanya sekedarnya. Dan diberinya banyak timun suri. Mmm… segar betul…

Saat ini padang itu hanya tersisa selebar satu lapangan bola voli. Lainnya, rumah-rumah baru di bangun. Penghuni baru berdatangan. Sedih juga. Tak ada lagi tanah yang cukup lapang untuk melihat langit penuh bintang di kala malam. Melihat siriusku di antara yang lain. Tapi aku buru-buru ingat. aku pendatang juga. Rumah orangtuaku dulunya pasti ladang juga. rumah tetanggaku mungkin bekas pohon besar berdiri. Ah… ironi yang menyedihkan.

Aku jadi bertanya, apa iya masih se’ndeso’ sangka temanku itu? di banding tetangganya Depok, mungkin ya.

Pagi itu, angkot-angkot masih jarang lalu lalang. terdengar radio di stel. Bens Radio, Betawi punya gaye,,,. lagu dangdut didendangkan. suara mesin jahit Singer masih mengalun. serasa tepuk tangan tiada habis-habisnya bagi penyanyi yang medesah-desah itu.

Belum habis satu lagu diputar sang penyiar kembali menyapa. Masih dengan gaya khas betawi pinggiran. Intonasinya seperti sengaja ditekan. Bertempo cepat kemudian. Mengagetkan di lain waktu dan lambat-lambat di kala lain. Satu suara yang mampu menceriakan. Menambah hidup dan kecerahan pagi ini. Bunyi gunting beradu lempeng baja terdengar kali ini. Dan pakaian ibuku yang habis dikecilkan itu dilipatnya. Uang dibayar dimuka. Sambil kulihat jam, kaki ini berlari keluar...

Ah...satu pagi di kampung tempat tinggalku.

0 comments: