9/23/2005

Cerita dari Kamar Cinin

Ini cerita dari kegiatan saya merapikan kamar yang amit-amit berantakan akibat ditinggal kesibukan mengerjakan skripsi dan pekerjaan lain.

Seperti yang sudah-sudah pekerjaan merapikan sebenarnya hanya membutuhkan waktu sekitar 20 persen dari keseluruhan waktu saya bergelut dengan porak-porandanya kamar. Sisanya yang 80 persen digunakan untuk membaca atau melihat-lihat barang-barang yang bahkan saya tidak ingat pernah memilikinya. Dan penemuan harta karun yang terlupakan itu selalu membuat saya bahagia dan ... bahagia!

Penemuan pertama saya yaitu hadiah-hadiah yang belum sempat saya buka dan gunakan. Hadiah macam figura foto itu ternyata menemukan belahan jiwanya karena dari hasil mengaduk-aduk tumpukan kertas yang berserakan ditemukan foto-foto lama. Setelah dipandang-pandang tu foto, senyum-senyum ngga jelas lalu disandingkanlah ia ke dalam figura tersebut.

Harta karun kedua adalah surat-surat dari teman-teman lama, kartu ucapan, buku harian, sampai hasil chatting sama teman-teman zaman masih kuliah dulu. Waktu kuliah kalau sudah bosan dengar dosen ceramah di depan, saya biasanya chat dengan teman terdekat. Medianya kertas bekas dan pulpen. Jadilah interaksi tersembunyi dan penuh keheningan itu dimulai. Membaca semua itu membuat saya geli dan ketawa-ketawa. Tapi lebih banyak mengingat-ingat karena saya sudah lupa dengan apa yang ditulis hehehe...

Penemuan selanjutnya adalah koleksi prangko yang dulu memang saya kumpulkan. Mmm.. cantik-cantik dan dari berbagai negara. Sebenarnya saya bukan seorang filatelis sejati yang merawat perangko dengan sepenuh hati. Tidak juga berburu benda pos itu hingga kemana-mana. Kebanyakan prangko itu adalah bawaan ibu saya dari kantornya kemudian saya rapikan dan simpan.

Temuan paling menakjubkan malam itu adalah kliping koran saya bertahun-tahun lalu. Ternyata saya masih menyimpan Kompas Edisi Milenium! yaitu kompas yang terbit tanggal 1 Januari 2000. Isinya tebal dan menarik-menarik. Berkisah tentang dunia dan Indonesia. Penemuan-penemuan, sejarah dan akan kemana dunia melangkah. Keren banget deh. Dan yang tidak kalah keren adalah saya masih menyimpan Kompas edisi spesial 100 tahun bung Hatta!!! 12 Agustus 2002. Isinya tulisan-tulisan para tokoh mengenai Bung Hatta. Hah... Saya jadi ingat lagi kenapa saya jatuh cinta pada tokoh minang ini. Juga kliping-kliping lain. Dari masalah pendidikan, dunia pustaka, budaya, masakan sampai tabloid PC Plus. Tapi sayang beberapa sudah mulai menguning. Apalagi Kompas edisi milenium. Gimana ya caranya supaya ngga makin coklat dan rapuh? Mmm...

Waktu semakin malam dan saya sudah sangat lelah. Waktu saya pandangi kamar. Hhh... lebih poranda dari sebelumnya, bahkan untuk sholat pun tidak ada tempat. Hahaha... Malam itu akhirnya saya tidur saja, meninggalkan kamar penuh benda-benda berserakan. Ah... masih ada esok hari bukan? Oops...

9/18/2005

9/16/2005

Hidup Syahid

Seorang pluralis tidak lahir dengan sendirinya. Pluralis sebagai sifat maupun watak, terbentuk oleh sebuah proses belajar yang pajang dan mungfkin melelahkan. Jadi, pluralis itu hasil ciptaan yang belum tentu sudah jadi. Tak ada pluralis yang bersifaf become dan mapan. Sifat, atau watak, itu masih terus menerus dalam penciptaan. Dan mungkin dirawat terus menerus agar bisa tetap konsisten.

Untuk menjadi pluralis, tak jarang diperlukan pengorbanan. Ia bisa dikucilkan teman-temannya sendiri, atau diejek,dibenci dan secar kultural tak lagi dianggap sebagai anggota kelompok.
Sang pluralis juga bisa diancam hukuman mati oleh suatu pusat kekuasaan atau oleh orang-orang yang merasa mendapat limpahan kewenangan dari Tuhan biarpun sebenarnya Tuhan tidak pernah membisikkan seustu kepadanya. Di mana-manaorang itu seperti itu kelihatan selalu ada dan membuat orang lain takut atau cemas. Begi mereka yang berjuang dengan penuh kesadaran, risiko seperti itu sudah mereka perhitungkan da mereka antisipasi sebagai kemungkinan terburuk yang bisa muncul. Mungkin, akhirnya ia tidak takut akan ancaman hukuman mati karena ia tahu yang dihadapinya mati sayahid, mati di jalan tuhan. Di banyak kelompok, mati sayahid dirindukan. Ini sebuah kematian agung. Kesayahidannya itu ‘iming’iming’ dan janji agama yang pasti. Mati sayahid dijamin masuk surga, langsung tanpa ditanya-tanya lagi.

Mereka yang menganggap pihak lain salah pun punya klaim perjuangan membela agama. Dengan sendirinya mereka pun mengegam ideologi mati sayahid tadi. Merka tidak takut mati,.
Dua pihak itu berhadapan satu sama lain. Masing-masing membela agama dan Tuhan. Masing-masing tidak takut mati. Tetapi jutaan orang cemas melihat kekerasan itu. relasi kekuasaan antar kelompok sperti itu mengerikan. Berjuta-juta meusia mendambakan ketentraman hidup, tetapi para tokoh malah bicara rtentang mati. Berjuta-juta orang menanti lkagu kehidupan, para tokoh malah menyanyikan lagu kematian.

Mereka lupa, bahwa ke-syahid-an itu hadian langit dan bukan sejenis gelas akademis yang bisa dicari. Orang akan mati sayahid atau tidak bukan urusan manusia. Ke-syahid-an itu mahkota lagit. Dan sepenuh ya merypakan rahasia langit.

Mati di jalan Tuhan, mati Syahid, tidak bisa direncanakan dan direkayas manusia. Tetapi hidup syahid merupakan kewajiban yang harus kita perjuangkan dengan gigih.

Kebudyaan kita lebih membutuhkan orang yang berai hidup syahid,. Yang mangasihi sesama, saluing menolong dan saling melindungi. Kemiskinan dan orang-orang yang tak berdaya, sangat banyak jumlahnya. Dan luar biasa mengenaskan. Mengurus mereka merupakan panggilan keagamaan yang sangat sentral kedudukannya.

Hidup harus dipertahankan. Kita mainkan peran keduniaan semaksimal mungkin agar kita tampak lebih bermartabat, baru kemduian bicara hak-hak kelangitan.

Hidup belum jadi ini harius di buat mendekati titik ‘jadi’. Kita yang hari ini gigih sebagai pluralis dan sangat toleran belum tentu terbebasa dari cobaan.

Sebaliknya, mereka yang antisikap pluralis tak mustahil berubah menjadi pluralis sejati. Dan sangat toleran kepada pihak lain.

-dari Mohamad sobary, kompas minggu.

Cak Nur


Senin 29 Agustus 2005, salah seorang cendikiawan Indonesia meninggal. Nurcholish Madjid meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah pukul 14.05. Innalillahi wa innailahi rojiun..

Ketika Cak Nur mengundurkan diri sebagai kandidat presiden dari partai Golkar karena merasa tidak berdaya dengan politik uang yang sudah marak, saya bersyukur. Bukan karena saya takut tokoh yang saya kagumi itu kehilangan integritasnya ketika memasuki arena politik yang kotor. Bukan pula saya takut beliau akan lupa pada pemikiran baiknya ketika sudah berkuasa. Bukan itu. Alasannya karena saya yakin setiap orang punya perannya masing-masing dalam dunia ini. Begitu pula dalam sebuah negara. Tidak semua orang menjadi buruh karena negara juga butuh petani. Tidak semua orang jadi presiden karena harus ada yang berada di luar kekuasaan. Peran yang cocok dengan seseorang adalah peran yang sesuai dengan personal karakteristik, pribadi dan potensinya. Dan saya menilai Cak Nur lebih cocok menjadi seorang guru bangsa daripada seorang presiden.

Cak Nur saya nilai sebagai seorang pemikir. Seorang presiden haruslah orang yang berpikir. Tapi dia punya tugas lain selain berpikir. Ia harus pula mengatur organisasi besar yang namanya negara serta mengatasi masalah-masalah di dalamnya. Saya kira pemikiran dari Cak Nurlah yang menjadi karakter beliau. Itu kekuatannya. Beliau adalh pemikir bukan seorang negarawan. Dengan pemikirannya itu ia bisa membantu negara. Menjadi guru, menjadi pembimbing ke mana negara ini akan melangkah. Dan itu tidak harus sebagai pemegang keputusan srategis sebagai presiden.

Saya jadi ingat perdebatan saya dengan seorang teman kira-kira setahun yang lalu. Menurutnya jika ada yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran, maka kita harus menegakkan kebenaran tersebut. Mengaungkan kebenaran tidaklah cukup. Kebenaran itu harus menjadi landasan yang mendasari sebuah sistem. Jika kebenaran yang dimaksud adalah mengenai bagaimana yang benar dalam mengatasi masalah negara, maka kekuasan mesti diperjuangkan. Kenapa? Karena pemegang kekuasan adalah pemegang posisi startegis. Dengan kekuasan kita bisa menegakkan kebenaran tersebut. Kekuasan memberikan keleluasaan dalam menentukan akan kemana negara ini bergerak. Sehingga ketika saat itu Cak Nur mengundurkan diri sebagai kandidat presiden, ia menganggap sebagai hal yang bodoh.

Ketika saya mendengar argumentasinya, saya merasa ada benarnya juga. Saya setuju jika seseorang dengan kekuasan entah itu presiden., ketua senat atau ketua Ospek kampus punya kartu As dalam menentukan akan kemana organisasi yang dipimpinnya itu bergerak. Jelas, karena ia pemegang kebijakan startegis. Tapi yang tidak saya setujui adalah penekanannya pada perlunya kekuasaan untuk membuat sebuah organisasi menjalankan kebenaran yang ia yakini. Wow... kalau orang-orang DPR, pemerintahan kerjanya berantem terus, pantes aja kalau mereka juga berpikiran seperti itu. Semua hanya memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini dan memperjuangkan kekuasaan untuk memfasilitasi kebenaran itu. Dalam keadaan seperti itu maka kegiatan perpolitikan, entah itu politik kampus atau negara diwarnai oleh kompetisi memperjuangkan kebenaran, yang jangan-jangan hanya ada di kepala mereka. Akibatnya mereka lupa untuk turun ke bumi melihat rakyatnya. Atau yang juga tidak kalah penting, menjadi lupa berkaca diri. Berkaca apakah ‘perjuangan menegakkan kebenaran alih-alih memperebutkan kekuasaan ini’ tidak merugikan orang lain? Mencoba bertanya pada diri apakah cara-cara yang digunakan adil, suportif dan tidak mementingkan diri dan golongan?
Cak Nur adalah seorang pluralis. Ia menghargai perbedaan pendapat. Baginya tidak ada kebenaran yang mutlak dalam kehidupan bersama. Dalam kehidupan bernegara seperti di Indonesia yang penduduknya majemuk jika politikus hanya memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini benar, lalu hendak dibawa ke mana Indonesia?

Dari lubuk hati terdalam saya merasa sedih betul mendengar beliau tiada. Indonesia kehilangan lagi orang berkarakter seperti beliau. Dan sedihnya, beliau meninggal di saat Majelis Ulama Indonesia mengharamkan Pluralisme. Miris. Tapi buat saya setidaknya beliau hidup untuk menjadi panutan. Bukan untuk dipuja karena beliau pastinya tidak suka. Tetapi sebagai orang yang buah pikirnya memberikan wawasan. Yang kecendekiaannya mencerahkan. Selamat jalan...

Memandang Sesuatu dari Sudut Lain

Suatu hari saya dibonceng motor oleh Monkici dari kampus di Depok ke rumah Paijeh di Ampera. Hari itu, saya pakai rok. Karenanya saya duduk menyamping. Itulah perjalanan naik motor dengan posisi menyamping terjauh buat saya. Kalau memboceng dengan cara konvensional paling yang bisa dilihat punggung dan belakang kepala monkici, jika menoleh sedikit lumayanlah pemandangannya, punggung-punggung mobil yang meninggalkan anda atau pengendara motor tampan di samping.

Berbeda jika posisi saya menyamping. Dengan posisi tersebut, saya bisa melihat sisi jalan di depan saya lebih jelas. dengan posisi tersebut saya juga bisa melihat arus kendaraan di belakang motor. Wuis. Mobil-mobil sebesar gajah seperti mau menginjak saya karena melaju kencang di belakang. Dan yang paling dasyat yaitu waktu segerombolan pengendara motor meluncur di jalan yang menurun dengan kecepatan tinggi. Haa... rasanya seperti sedang dikejar-kejar tawon! Tapi itu serunya. Dan itu yang menarik. Saya melihat suasana di jalan raya dengan point of view yang berbeda.

Melihat dengan posisinya berbeda akan memberikan sensasi yang berbeda pula. Dengan mencoba melihat sesuatu dengan posisi yang berbeda akan memberikan pengalaman berbeda. Sesekali dalam hidup, kita harus berani untuk merubah posisi duduk kita sehingga mendapat pengalaman baru dalam hidup. Melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda membantu kita untuk tidak picik dalam menjalani kehidupan. Kita bukanlah katak dalam tempurung. Pandangi dunia dari sudut manapun. Kebenaran yang kita yakini belum tentu sepenuhnya benar.

Dalam menjelajahi dunia ilmu pengetahuan sikap berani dalam melihat sesuatu dari sudut pandang lain membuat kita tidak kaku dalam mencoba menjelaskan suatu fenomena. Jika fenomena ibarat berlian maka suatu teori hanya mampu menjelaskan kilau, struktur, dan dinamika yang dihasilkan, dari satu sudut pandang. Padahal berlian punya banyak sisi. Jika seseorang dengan kaku menganggap hanya satu teori benar dan yang lainnya salah maka ia telah gagal untuk mencoba memahami suatu fenomena sebagai satu kesatuan.
Belajar untuk memandang sesuatu dari sudut pandang lain, memberikan pemahaman yang lebih dalam melihat suatu gejala. Dunia ini tidak sehitam putih yang anda bayangkan. Jadi mari belajar untuk berani merubah posisi duduk kita.

Agustusan

Bulan Agustus sudah berlalu. Umbul-umbul mulai diturunkan. Bendera-bendera plastik merah-putih mulai pudar warnanya. Lomba-lomba untuk memperingati hari kemerdekaan telah usai. Setiap melihat kemeriahan itu, aku selalu ingat perayaan lima puluh tahun Indonesia merdeka.
Ya, itu sepuluh tahun lalu. Waktu itu aku baru masuk SMP. Jauh hari sebelum perayaan, ada himbauan (atau instruksi?) bagi pemilik rumah yang berada di pinggir jalan raya untuk memasang lampu warna-warni. Lampu merah, hijau dan kuning itu biasanya dililitkan pada sebatang bambu dan dibuat berkelap-kelip. Beberapa rumah menambah semarak dengan menancapkan beberapa batang bambu atau menambah lampu-lampu kecil berwarna-warni yang diletakkan di atap rumah. Ada pula yang merangkai lampu-lampu tersebut sehingga bertuliskan "Dirgahayu RI ke 50"

Pada masa itu, Aku suka banget jalan-jalan di waktu malam untuk bisa melihat indahnya lampu berkelap-kelip. Keluar masuk kampung, merambah daerah-daerah yang lumayan jauh dari rumah. Biasanya aku keluar pukul setengah delapan usai berita sore. Sendiri. Hahaha.. kalau diingat-ingat gila juga ya keluar malam-malam sendiri. Tapi seingatku, waktu itu keadaan di jalan-jalan selalu ramai. Kalau ditanya orang rumah, aku jawab aja habis jalan-jalan. Udah deh ngga ditanya lagi. hehehe...

Sewaktu aku main ke ibukota Jakarta di masa itu, aku juga lihat jalan-jalan diterangi lampu berwarna-warni. Pohon-pohon besar digantungi hiasan lampu kecil berjuntai-juntai. Hiasan lampu berpola diletakkan di pembatas jalan. Monas juga terlihat indah karena dipasangi lampu. Pokoknya terang banget deh. Dan pastinya indah sekali. Keindahan itulah yang sampai saat ini masih berkesan buatku.

Dua tahun setelah itu, krisis ekonomi melanda Indonesia. Ironisnya menurut kabarnya keadaan Indonesia sudah kembang kempis sejak peraayaan ulang tahun emas Indonesia tersebut. Ironis karena perayaan yang dimeriahkan oleh limpahan cahaya lampu itu entah menghabiskan dana berapa. Belum lagi acara-acara lain digelar untuk memperingati ‘kemerdekaan’ kita. Meriah dan berkesan buatku. Tapi ternyata hanya fatamorgana. Pertanyaannya kemudian apakah perlu semua kemeriahan itu?

Dalam lingkup yang lebih sempit, lingkungan RT atau RW kadang pertanyaan tentang penting atau tidaknya penyelengaraan peringatan tujuh belasan juga kerap kali muncul. Apakah perlu membuat gapura di depan gang? Apakah perlu membuat acara perlombaan dan apakah perlu membuat panggung hiburan sebagai malam puncak peringatan? Apakah semua itu perlu karena semuanya butuh biaya. Dan sudah jamak, setidaknya di lingkungan yang aku kenal kalau beberapa warga merasa keberatan karena mereka mesti mengeluarkan iuran untuk itu semua.
Kemeriahan lomba buat sebagian anak adalah saat-saat yang ditunggu. Ditunggu hadiahnya, ditunggu kesempatan ikutan lomba, ditunggu bisa main seharian bersama teman. Itu yang ditunggu. Lampu-lampu, umbul-umbul, atau panggung hiburan berkesan buat sebagian orang karena memberi suasana hari ‘merdeka’. Dan tidak ada yang salah dengan itu semua. Yang salah menurutku adalah jika semua itu dipaksakan. Jika memang perlombaan adalah hal yang menyenangkan buat anak, sesuatu yang berkesan buat mereka, bisalah dibuat dengan biaya seminimal mungkin. Pengalaman kemarin jadi panitia perlombaan tujuh belasan, kebanyakan permainan-permainan yang dilombakan tidak butuh dana besar. Yang penting fun dan bisa melatih anak berkompetisi. Soal hadiah yang berpotensi mengeluarkan biaya besar juga bisalah disiasati. Cari sponsor ke perusahaan sabun atau minta tetangga sebelah yang semi pejabat. Semuanya tergantung keadaan. Kalau memang tidak ada dana untuk memeriahkan bulan agustus dengan bendera ya ngga usahlah beli.

Hahaha... aku ngomong begini kayanya mudah saja. Memang ngga mudah hidup bertetangga. Tapi yang aku mau bilang pada anda kalau anda suka keindahan dan kemeriahan tujuh belasan, ya itu bukan sesuatu yang ngga penting. Kadang kita perlu juga melihat keindahan, perlu juga melihat kemeriahan. Tapi semua tergantung keadaan kita masing-masing. Kalau ngga ada ya ngga usah maksa.

9/03/2005

gw baru aja baca blog seorang teman. kawan lama. gw agak terkejut dengan apa yang ditulisnya. tema-tema yang diutarakan bukan sesuatu dari dirinya yang gw kenal. selain itu, gw malah g menyangka dia menyediakan sedikit waktu di tengah kesibukannya untuk menulis.

gw bahkan ngga tau kalau dia suka menulis. biasanya dia cuma duduk diam di dekatku. duduk disamping dan membisu. hening. lalu aku mulai bicara. bercerita tentang pikiran-pikiranku. dia biasanya tetap diam. sesekali menanggapi dengan lelucan. dan kami tertawa bersama. kadang ia bercerita juga tetang hidupnya. tapi semua dengan gayanya. gaya yang khas. tidak berbicara panjang lebar, tapi bahasa tubuhnya yang bercerita. kadang pula ia cerita tentang kesukaannya pada suatu hal. lambat-lambat, tapi gw bisa rasakan kalau ia mencintainya. sepenuh hati.

ketika gw baca blognya, tiba-tiba gw jadi kangen banget sama dia. sudah lama betul kami tidak bersua. gw rindu harum pakaiannya di pagi hari. bau pengharum dan pelembut pakaian. juga rindu bau tubuhnya di sore hari yang bau matahari. kangen juga sama kejailannya, leluconnya yang selalu buatku tertawa, kejeniusannya. hei kawan kapan kita ngobrol-ngobrol lagi? kangen...

Tentang Cinta

Kadang-kadang gw merasa bosan dengan tema cinta. dari gw bangun tidur sampai hendak tidur lagi tema cinta ada di mana-mana. di pembicaraan telepon, sms, televisi, baca blog, obrolan di kampus, radio.. cinta-cinta terus. bosen. kayanya ngga ada tema lain selain cinta yang bikin suasana hidup. tapi biar gw bosen, gw menikmati juga bicara tentang cinta. dipertanyakan, diresapi.. hah.. cinta seperti misteri sepanjang hayat kehidupan manusia yang memang asik buat dibicarakan.

buat dewasa muda seperti gw, tema tentang cinta dan turunannya yaitu hubungan dengan lawan jenis menjadi tema khusus yang lebih sering terdengar daripada tema cinta yang lain. tapi berbeda dengan jaman remaja dulu, tema cinta dewasa lebih berkesan serius. bukan lagi si itu tampan dan si dia cantik tapi lebih dari itu.

belakang, gw memilih diam kalau ada teman yang cerita tetang cinta. gw menempatkan diri sebagai pendengar yang baik aja. soalnya dari yang sudah-sudah gw menyadari biar hari ini berurai air mata besok juga sudah tertawa lagi. cinta ada di mana-mana jadi ngga usahlah terlalu mikirin itu.

Cinta.. oooooo Cintaaaa...

Dari Depok ke Kyoto

ceritanya, beberapa bulan yang lalu ada undangan untuk mengikuti simposium internasional mengenai Tsunami di Universitas Kyoto yang ditujukan ke Universitas Indonesia. pihak rekotrat kemudian meneruskan undangan tersebut kepada fakultas-fakultas di bawahnya termasuk fakultas psikologi. di psikologi undangan tersebut disampaikan ke Pusat krisis. kemudian saya dan dua orang teman lain berniat untuk memenuhi undangan tersebut dengan membuat makalah yang berjudul "Prevention and Mitigation Program for Tsunami Damage". Oleh pihak Universitas Kyoto sudah disetujui. makalah kami akan ikut poster session. lebih lanjut lagi diberitahukan bahwa segala macam biaya ditanggung oleh pihak peserta.

pihak rektorat dihubungi untuk membiayai perjalanan. singkat cerita setelah di pingpong berulang kali, universitas tidak mau membiayai sesen pun karena cukup mahal. kalau dihitung-hitung sekitar 20 juta untuk satu orang. email pun dikirim memberitakan pengunduran diri karena tidak ada sponsor yang mau membiayai. waktu berlalu...

dua minggu sebelum penyelenggaraan ada email dari pihak Universitas Kyoto. mereka bilang sangat mengharapkan kehadiran pihak dari Indonesia untuk berpartisipasi, dan makalah kami dimasukan sebagai pembicara utama dalam simposium itu. mereka juga menyediakan anggaran khusus sebesar 15.000 yen sebagai biaya. setelah dibicarakan, waktu dua minggu tidak cukup untuk mengurus surat-surat keberangkatan karena birokrasi. lalu diputuskan untuk menolak tawaran tersebut.

gw ngga tau kenapa pihak Kyoto baru menawarkan hal itu di saat-saat akhir.. hiks... Kalau kata temanku mungkin mereka baru menyadari kalau tsunami itu terjadi di Indonesia. sebab dari daftar pembicara utama yang dikirimkan pada kami sebelumnya tidak ada pembicara dari wilayah yang terkena Tsunami. pembicara malah berasal dari Amerika (?) dan Jepang.

hiks.. pas wisuda tingkat universitas kemarin, rektor UI sekali lagi mengatakan keinginan UI sebagai Universitas Riset berskala Internasional. gw cuma senyum miris. bahkan untuk membiayai ikut simposium aja susahnya minta ampun. apalagi ternyata kami adalah satu-satunya dari pihak Indonesia yang mendaftarkan diri ikut simposium itu. hiks..