9/16/2005

Cak Nur


Senin 29 Agustus 2005, salah seorang cendikiawan Indonesia meninggal. Nurcholish Madjid meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah pukul 14.05. Innalillahi wa innailahi rojiun..

Ketika Cak Nur mengundurkan diri sebagai kandidat presiden dari partai Golkar karena merasa tidak berdaya dengan politik uang yang sudah marak, saya bersyukur. Bukan karena saya takut tokoh yang saya kagumi itu kehilangan integritasnya ketika memasuki arena politik yang kotor. Bukan pula saya takut beliau akan lupa pada pemikiran baiknya ketika sudah berkuasa. Bukan itu. Alasannya karena saya yakin setiap orang punya perannya masing-masing dalam dunia ini. Begitu pula dalam sebuah negara. Tidak semua orang menjadi buruh karena negara juga butuh petani. Tidak semua orang jadi presiden karena harus ada yang berada di luar kekuasaan. Peran yang cocok dengan seseorang adalah peran yang sesuai dengan personal karakteristik, pribadi dan potensinya. Dan saya menilai Cak Nur lebih cocok menjadi seorang guru bangsa daripada seorang presiden.

Cak Nur saya nilai sebagai seorang pemikir. Seorang presiden haruslah orang yang berpikir. Tapi dia punya tugas lain selain berpikir. Ia harus pula mengatur organisasi besar yang namanya negara serta mengatasi masalah-masalah di dalamnya. Saya kira pemikiran dari Cak Nurlah yang menjadi karakter beliau. Itu kekuatannya. Beliau adalh pemikir bukan seorang negarawan. Dengan pemikirannya itu ia bisa membantu negara. Menjadi guru, menjadi pembimbing ke mana negara ini akan melangkah. Dan itu tidak harus sebagai pemegang keputusan srategis sebagai presiden.

Saya jadi ingat perdebatan saya dengan seorang teman kira-kira setahun yang lalu. Menurutnya jika ada yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran, maka kita harus menegakkan kebenaran tersebut. Mengaungkan kebenaran tidaklah cukup. Kebenaran itu harus menjadi landasan yang mendasari sebuah sistem. Jika kebenaran yang dimaksud adalah mengenai bagaimana yang benar dalam mengatasi masalah negara, maka kekuasan mesti diperjuangkan. Kenapa? Karena pemegang kekuasan adalah pemegang posisi startegis. Dengan kekuasan kita bisa menegakkan kebenaran tersebut. Kekuasan memberikan keleluasaan dalam menentukan akan kemana negara ini bergerak. Sehingga ketika saat itu Cak Nur mengundurkan diri sebagai kandidat presiden, ia menganggap sebagai hal yang bodoh.

Ketika saya mendengar argumentasinya, saya merasa ada benarnya juga. Saya setuju jika seseorang dengan kekuasan entah itu presiden., ketua senat atau ketua Ospek kampus punya kartu As dalam menentukan akan kemana organisasi yang dipimpinnya itu bergerak. Jelas, karena ia pemegang kebijakan startegis. Tapi yang tidak saya setujui adalah penekanannya pada perlunya kekuasaan untuk membuat sebuah organisasi menjalankan kebenaran yang ia yakini. Wow... kalau orang-orang DPR, pemerintahan kerjanya berantem terus, pantes aja kalau mereka juga berpikiran seperti itu. Semua hanya memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini dan memperjuangkan kekuasaan untuk memfasilitasi kebenaran itu. Dalam keadaan seperti itu maka kegiatan perpolitikan, entah itu politik kampus atau negara diwarnai oleh kompetisi memperjuangkan kebenaran, yang jangan-jangan hanya ada di kepala mereka. Akibatnya mereka lupa untuk turun ke bumi melihat rakyatnya. Atau yang juga tidak kalah penting, menjadi lupa berkaca diri. Berkaca apakah ‘perjuangan menegakkan kebenaran alih-alih memperebutkan kekuasaan ini’ tidak merugikan orang lain? Mencoba bertanya pada diri apakah cara-cara yang digunakan adil, suportif dan tidak mementingkan diri dan golongan?
Cak Nur adalah seorang pluralis. Ia menghargai perbedaan pendapat. Baginya tidak ada kebenaran yang mutlak dalam kehidupan bersama. Dalam kehidupan bernegara seperti di Indonesia yang penduduknya majemuk jika politikus hanya memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini benar, lalu hendak dibawa ke mana Indonesia?

Dari lubuk hati terdalam saya merasa sedih betul mendengar beliau tiada. Indonesia kehilangan lagi orang berkarakter seperti beliau. Dan sedihnya, beliau meninggal di saat Majelis Ulama Indonesia mengharamkan Pluralisme. Miris. Tapi buat saya setidaknya beliau hidup untuk menjadi panutan. Bukan untuk dipuja karena beliau pastinya tidak suka. Tetapi sebagai orang yang buah pikirnya memberikan wawasan. Yang kecendekiaannya mencerahkan. Selamat jalan...

0 comments: