6/10/2005

Mengenang Dini

Gw ngga ingat persis, kapan gw kenal teman yang bernama Dini ini. Sewaktu jadi Maba, gw g ‘ngeh’ ada dia di antara teman-teman yang lain. Baik waktu nyanyi di Balairung, pas PSAU atau saat Prosesi.

Tapi gw ingat pertama kali gw menyadari kehadirannya. Waktu itu kuliah mas Budi, saat itu ia duduk di depan. Malah bisa dibilang paling depan. Barisan yang mulai diisi oleh peserta kuliah itu barisan 4. sedang Dini, duduk di barisan ke 2. Sendiri. Saat itu (tahun-tahun pertama kuliah) seingat gw, dia memang selalu duduk di depan dan sering pula bertanya. Saat itu pun, Dini bertanya. Gw lupa apa yang dia tanyain. Tapi yang gw ingat, sebelum mas Budi menjawab, ia terlebih dahulu memuji Dini. Dia bilang, dia hapal dengan mahasiswa yang satu ini. Mahasiswa dari Padang. Dan dia juga bilang kalau dia suka Dini menggunakan bahasa Indonesia yang baik sekali. Dan tentu saja, seperti biasa, mas Budi pun menganjurkan kami untuk seperti itu pula.

Potongan lain dari kenangan akan Dini di masa-masa awal perkuliahan adalah waktu ada seorang bapak yang mengaku pamannya mencari, juga waktu aku untuk pertama kalinya main ke asrama, dan satu hari ketika kami ngobrol-ngobrol di depan perpusatkan. Bercerita tentang kota yang bernama padang.

Tapi obrolan panjang pertama kali adalah saat Forum Silaturahmi Angkatan (ForSilA) balasan anak 2002. Asik betul ngobrol sama orang ini. Berbincang tentang Padang, Jakarta, novel, psikologi, masalah-masalah sensitif dan terutama untuk pertama kalinya mungkin kami berbincang tentang hidup dan kehidupan. Setelah ForSilA itu kadang-kadang kami ngobrol. Juga sekali menulis.

Setelah periode itu lama ngga ada hubungan. Gw lupa gimana ya kami dekat lagi. apa karena sama-sama kerja di satu acara pendidikan ya? Atau sebelumnya? Lupa. tapi akhirnya ya kami dekat juga. Dulu kalau gw ngobrol sama orang ini, dia selalu senewen sama pandangan gw. Kelak, Dipan menamai pandangan gw sebagai tatapan mengintimidasi, hiks.. padahal kan tatapan gw tatapan penuh perhatian, empati pokoknya semua pandangan yang seharusnya dimiliki seorang psikolog deh. Masa di bilang mengintimidasi? Jadi kalau dia cerita, gw mesti memandang langit atau menatap dinding kosannya yang biru telur asin itu. Menatap kosong dan tidak boleh tersenyum!

Dulu gw selalu merasa nih anak misterius abis, moody banget...dan terutama: seenaknya sendiri, satu sifat yang paling gw benci dari semua sifat yang dimiliki manusia huaa... sering bikin gw senewen. Tapi seiring berjalannya waktu, gw merasa kenal dia. Memahami apa yang ada dipikirannya. Sesuatu yang ia takuti tidak akan dimengerti oleh kebanyakan orang.
Selama waktu yang sudah berlalu itu, hari-hari diisi dengan berbagai macam diskusi, debat, obrolan tentang berita atau tulisan di koran, buku-buku, gosip-gosip (yang sayangnya jarang menghampiri kami), orang-orang di luar sana, tentang budaya, emosi, penghayatan pribadi, pemaknaan akan sesuatu. Mencoba memahami dunia. Dunia manusia. Dunia diri.

Dan jadilah waktu-waktu diisi dengan refleksi, pemaknaan akan segala yang terjadi pada diri, dinamika afeksi, loncatan-loncatan pemikiran, dan juga harapan. Juga kegiatan-kegiatan g penting tapi bermakna. Ngobrol sambil numpang makan (loh kebalik ya? Hehehe...) di nasi goreng bang Naim malam-malam (sampai diusir coba! Hahaha), jalan-jalan, duduk di pinggir danau, muter-muter di Mall, ke pameran, gelar budaya, kebun raya, online atau ngobrol di kosannya.
Banyak banget yang udah terlewat. Sempat gw berpikir jika nanti lautan memisahkan, apa iya kami masih seperti sekarang. Sepulang dari Aceh membuat gw makin menyadari bahwa kehidupan yang berbeda akan membentuk pribadi yang berbeda pula. Kita memang berbeda dari awal. Besar dari lingkungan yang berbeda, budaya yang beda, personal karakteristik yang juga beda. Lalu nasib mempertemukan kami di satu ruang yang bernama fakultas psikologi UI. Setelah itu kehidupan yang berbeda akan menempa kami dengan caranya sendiri. Lalu... apa yang akan mempersatukan kami jika suatu hari nanti kami bertemu, duduk minum teh di antara jejeran buku? Dini menjawab, apa yang mempersatukan kita saat ini adalah juga yang akan mempersatukan kita nanti. Tapi apa? Kami sama-sama tidak tahu. Mungkin minat yang sama, kegundahan yang sama atau mungkin.... nilai-nilai universal yang akan selalu kami pegang.