8/01/2005

Aku Mahasiswa

Tinggal menghitung minggu dan usai sudah masaku menjadi mahasiswa. Mungkin nanti jika aku ambil S2 Profesi Psikolog, atau ambil program doktoral, statusku juga mahasiswa. Tapi buatku, yang namanya menjadi mahasiswa adalah masa-masa sekarang ini, masa menjadi mahasiswa sarjana. Masa dimana gairah menjadi manusia muda berkobar dan mampu memberikan perubahan. Gelora remaja menuju dewasa awal.

Aku masih ingat ketika menjadi mahasiswa baru. Begitu bersemangat dan bergairah. Bisa jadi karena aku diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik di negri ini. Masuk di fakultas yang aku pilih sebagai jalan hidup. Tapi yang membuatku bersemangat adalah anganku bahwa diri ini akan masuk ke dalam lingkungan intelektual yang penuh gairah.

Kegairahan bahwa diriku akan masuk ke dalam lingkungan yang penuh energi dan semangat. Gagasan dilontarkan untuk diwujudkan, Tanya, lahir untuk ditanggapi, Diskusi-diskusi digelar untuk mengasah ketajaman berpikir, pendapat-pendapat diungkapkan tanpa batasan. Semua itu mungkin serta merta karena inilah dunia kampus, dunia di mana kekebasan berpikir menjadi dewa. Dunia dimana kita dihantarkan menuju cakrawala pengetahuan yang lebih luas, untuk kemudian kita memiliki pengetahuan yang kita yakini, prinsip-prinsip hidup yang melandasi hidup kita selanjutnya, bekal untuk menjadi manusia-manusia yang ahli dibidangnya.
Dan kegairahan itu makin menjadi-jadi ketika aku dan para mahasiswa baru UI yang jumlahnya ribuan itu merayakan kedatangan kami sendiri di kampus tercinta, berjaket kuning dalam acara wisuda. Bernyanyi untuk kami sendiri...



Selamat datang pahlawan muda, Lama nian kami rindukan dikau,
Bertahun-tahun
bercerai mata, Kini kita dapat berjumpa pula,
Dengarkan sorak gegap gempita
mengiringi derap langkah perwira,
hilangkan rindu dendam ibumu selamat datang
di Jakarta Rayaaaa.....
Pahlawan Muda.

Ya kamilah pahlawan muda itu. Gaung yang membahana di Balairung yang megah itu, warna kuning menyala pantulan jaket almamater yang kemungkinan besar baru sekali itu dipakai, wisudawan yang kelihatan sumringah dan keriangan yang masih juga memancar dari teman-teman yang sama-sama baru lulus UMPTN serta bayangan akan kehidupan perkuliahan, semua berbaur dan memberi kehangatan dalam hati. Bara yang merah menyala.

Tapi apa lacur? Tahun pertama di perkuliahan mulai mengerogoti kehangatan itu. Angin seperti enggan untuk bertiup sehingga perlahan-lahan bara dalam hati kian redup dan redup.. Tugas, tugas, tugas dan tugas. Di susul oleh ujian, ujian dan tugas. Begitu banyak beban perkuliahan hingga membuat mati semangat ini. Tapi bukan itu hanya itu saja yang membuat angin tiada berhembus, dunia perkuliahan begitu menjemukan! Tiada debat atau diskusi, tiada tanya yang dibalas oleh rentetan tanya yang lain. Dan paling tragis adalah, manusia-manusia yang mengikuti perkuliahan itulah jugalah yang membuat dunia ini mati. Coba lihat, manusia-manusia yang konon pintar karena berhasil terpilih dari ribuan peminat, cream de la cream kata Dekanku waktu itu, manusia-manusia dengan kemampuan intelektual diatas rata-rata, mereka cuma bisa diam dan melongo! Dan lebih parah lagi mereka ini yang mematikan keinginan untuk bertanya bagi sebagian orang yang masih punya semangat untuk ‘mengetahui’, semangat untuk belajar yang sesungguhnya.

Kenapa? Ya betul, karena mereka memandang aneh perilaku bertanya, "buat apa sih nanya hal ga penting kaya gitu?" "Ah..udah abis nih waktunya," "aduh! Jangan nanya dong." Ya. Benar. Dan tumbanglah satu-persatu manusia-manusia kritis dan dengan keinginantahuan yang besar. Makin hari kuliah makin datar, hambar, menjemukan dan melelahkan. Gairah makin susut, digantikan oleh kelelahan yang nyata dan persepsi diri akan kelelahan akibat tugas, tugas dan tugas.

Menurutku sih tugas-tugas di psikologi menarik, analisis kepribadian tokoh atau wayang, analisis perkembangan diri, mengunjungi tempat-tempat macam muara angke atau rumah sakit jiwa, jalan-jalan ke gelanggang samudra di ancol, bikin program kesehatan mental dan lain-lain. Semua memberi peluang untuk membuka cakrawala pengetahuan dan pengalaman menyelami literatur yang berkaitan dengan tugas tersebut. Tapi hampir semua mata kuliah ada tugas. dan itu melelahkan.

Kadang aku berpikir apa yang membuat ini begitu melelahkan? Bebannyakah yang tidak manusiawi atau jangan-jangan kemampuan berpikir aku yang payah.

Entah apa jawabnya, tapi makin lama kemampuan berpikirku malah semakin tumpul. Kegiatan perkuliahan menjadi hal yang rutin. Mengisi IRS dan KRS di awal semester, masuk kuliah ‘anu’ jam sekian, besok kuliah ‘itu’, ada kuis minggu ini dan UTS minggu yang akan datang, kuliah ‘anu’ jam sekian, besok kuliah ‘itu’, nanti mengerjakan tugas ini, setelahnya tugas lain menanti. Tau-tau besok UAS. Tugas-tugas mesti dikumpulkan, belajar mesti digiatkan. Semua nyaris sama.

Apa yang kudapat? Terlalu banyak tugas mejauhkan diri dari buku bagus yang pingin aku baca, membuat aku jarang baca koran, meminimkan waktu untuk sekedar jalan-jalan ke tempat-tempat baru. Apalagi mau belajar membatik, menari, main flute, ikutan teater, atau sesekali menonton puisi di TIM. Ga ada waktu.

Ah ya... sebentar lagi akan berakhir episode ini. Aku bakal sangat kehilangan. Mungkin pula disertai kekecewaan angan-anganku melayang.

1 comments:

MeMySelf said...

Sekolah....

Tadi pagi gw baca tulisan temen gw di blognya. Judulnya, Sebermula dari Tanya. Nih, gw sariin tulisannya. Dia menulis bagaimana awalnya sekolah muncul. Dimulai ketika seorang Socrates, bertanya tentang berbagai hal pada para pemuda di kota Athena. Dia bertanya tentang alam, tentang hidup dan banyak hal lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian menggelitik rasa ingin tahu para pemuda ini. Hingga kemudian, mereka rutin berkumpul untuk mencari lebih banyak ilmu, merefleksikan banyak hal dalam hidup.

Dan di sanalah sekolah bermula. Dari tanya. Dari tanya yang membuat pikiran manusia menjadi hidup dan aktif bekerja.

Tapi kemudian, sekolah tidak lagi menghasilkan teriakan "Eureka!". Karena, manusia kemudian mulai mengatur apa yang boleh diajarkan dan yang tidak boleh diajarkan. Apa-apa yang mesti dibaca, dan bagaimana mesti bersikap di kelas. Hingga, kemauan untuk bertanya pun kemudian mati.

Lalu, yang jadi pertanyaan, kenapa sekolah menjadi "begitu?". Apa karna kehidupan sekarang menjadi semakin pragmatis? Apa karena semangat kapitalisme yang menguasai dunia? Sehingga akhirnya sekolah hanyalah menjadi pabrik untuk mencetak manusia-manusia yang akan bekerja untuk kepentingan kapitalisme itu? Sehingga, sekolah kemudian tidak lagi menghasilkan manusia-manusia yang menyadari esensi dari belajar itu?

Gw masih ingat banget, apa yang gw bayangin tentang kuliah. Diskusi-diskusi cerdas, perdebatan yang panas..haha. Dan soal ujian yang membuat gw mikir dan menyarikan kembali ilmu yang gw dapat sesuai dengan pendapat gw. Tapi nyatanya, soal ujian gw selama kuliah adalah pilihan ganda atau isian singkat. Dan diantara begitu banyaknya tugas yang gw kerjakan, gw gak tau dimana kelebihan dan kekurangan gw.

Ah..meletihkan...